Takabur: Racun yang Tertanam

 [Insert hasil ujian-ujian lampau]

“Gilaaa, pinter banget gue-

.

.

.

-dulu”

 

Kagum gadis itu melihat kembali hasil ulangan hariannya semasa sekolah menengah dahulu. Ia mengambil satu kertas, menyisihkannya, membolak-balikannya, sembari terpana melihat kertas itu. Merasa bangga dengan dirinya sendiri, gadis itu tak ada henti memuji dirinya sendiri. Seketika, gerakan tangannya terhenti dan senyumnya tak lagi sama. Senyumnya kini lebih terlihat seperti senyum miris daripada senyum bangga. Rupanya, dia baru sadar. Dia baru saja sadar bahwa semua itu adalah “dulu” yang tak pernah bisa menjadi kini. Kebanggaannya akan hal yang ia anggap bahwa ia cerdas membuatnya lupa bahwa itu semua hanyalah sementara. Kalaupun itu disebut kesuksesan, ia lupa bahwa kesuksesan itu tidak selamanya. Dulu ia seringkali bingung dengan orang yang suka sekali pamer kehebatannya, merasa benci dengan orang seperti itu. Tanpa ia sadari, perlahan ia menjadi orang yang dibencinya di saat dewasa. Hati-hati, pujian itu adalah racun untukmu. Seperti halnya kasus orang cerdas tulen yang mengakui banyak yang tidak ia ketahui sementara orang yang pura-pura cerdas merasa ia tahu segalanya, begitulah gadis ini. Seperti orang yang pura-pura cerdas. Padahal, jika saja ia tetap diam dan berjuang, kejatuhan ini tak akan terjadi.

Komentar