SIAP

Kegemaranku adalah membaca orang lain. Membaca karakter mereka, apa yang mereka suka, bagaimana sekiranya mereka akan bersikap, hal-hal seperti itu. Aku peduli dengan consent jadi hal ini adalah hal yang mereka sudah tahu. Aku punya satu buku tentang hal ini. Sebenarnya melakukan hal ini cukup melelahkan juga, tapi aku berpikir mungkin orang butuh ini juga suatu saat.


Hingga aku bertemu seseorang yang rasanya sulit juga untuk aku baca. Sikapnya, ucapannya, kadang bertolak belakang. Terkadang ucapannya seperti anak-anak tapi sikapnya dewasa.


Aku tak bisa membacanya.


Sampai aku tahu dia punya kekelamannya sendiri. Sikapnya yang labil, perilakunya yang tak bisa kubaca, hingga kadang membuatku berharap, aku menyadari satu hal. Dia belum siap. Dia belum selesai dengan dirinya. Kadang dia membuat bingung orang lain tapi sebenarnya bukan itu yang dia inginkan. Dia akan merasa bersalah jika membiarkan perasaan yang tak pasti itu ia biarkan mengalir. Maka ia kembali menutup diri. Dia ingin selesai dengan dirinya terlebih dahulu. Dia menutup pintu komunikasi, membiarkan dirinya menyelesaikan masalahnya sendiri.


Hingga kurasa bukan itu yang kubutuhkan. Memiliki starting point yang berbeda rasanya melelahkan. Aku sudah berada di tengah perjalanan sementara ia masih baru mau memulai perjalanan. 


Rasanya melelahkan berhadapan dengan seseorang yang memiliki cara penyelesaian masalah yang berbeda sebab pada akhirnya yang kubutuhkan adalah komunikasi sementara dia bahkan tidak berusaha menyediakannya.

Komentar