Tiga tahun sudah berlalu sejak aku lulus dari asrama.
Aku masih ingat hari-hari di mana aku begitu ingin sekali cepat lulus dari bangunan dengan satu kamar berisi 6 orang itu. Hari-hari di mana aku merasa tidak bebas karena tidak boleh membawa smartphone, tidak boleh charge dan membawa laptop di kamar, lampu dimatikan tepat di jam 10 malam, harus selalu ke masjid setiap waktu solat bahkan ketika sedang menstruasi, dan masih banyak alasan lain. Puncaknya adalah ketika aku sudah merasakan ketidakcocokan dengan teman sekamar, ketika aku merasa sendiri, ketika aku harus pergi menyendiri ke gudang. Menyedihkan memang. Lebih menyedihkannya lagi saat aku membeli susu satu liter yang sudah basi setelah 1 hari kubuka karena tidak ada kulkas.
Meskipun begitu, masih ada hal-hal menyenangkan yang membuatku bisa bertahan di asrama itu. Teman satu organisasi dan pembinanya yang open minded adalah yang paling utama. Bisa dibilang aku juga punya crush saat itu (yang menjadi support system-ku).
Tapi mari kita kembali ke masa kini. Aku dan kost-ku.
Di kost-ku lebih nyaman, aku bisa memainkan handphone sepanjang hari, bisa charge laptop-ku, bahkan aku punya kulkas di dalam kamar kost ini. Lebih menyenangkannya lagi, aku bisa memasak dengan kompor listrik dan tinggal membuka jendela untuk membuang asapnya. Belum sampai di situ, aku bahkan punya air-fryer di sini. Menakjubkan sekali, bukan? Tentu aku mensyukurinya. Namun, entah rasanya ada yang hampa. Kukira aku akan lebih mudah beradaptasi karena sudah pernah punya pengalaman di asrama, tapi ternyata beda juga ya.
Sudah enam bulan aku merantau, tapi pengalamannya beda dengan saat aku di asrama. Aku kira tidak ada kata homesick untukku karena saat di asrama aku merasa enjoy-enjoy saja bahkan di masa terpurukku. Tapi di kost, entahlah. Rasanya beda. Aku yakin aku bisa survive, aku yakin aku bisa berjuang untuk belajar dan mempelajari ilmu baru. Aku yakin akan hal itu. Aku hanya ingin bilang bahwa aku terlalu meng-underestimate dunia perantauan ini.
Jika dibilang ingin kembali ke masa lalu, tidak juga. Aku tidak ingin kembali ke masa harus dihukum jika telat ke masjid meski sedang menstruasi. Hanya saja, aku rindu menelusuri lorong. Aku rindu menyapa dan disapa orang-orang yang kukenal, atau bahkan hanya sekadar disapa adik kelas. Aku memang introvert, hanya saja bersosialisasi semacam itu sungguh perasaan senang yang sulit diungkapkan. Bukankah sejatinya manusia itu makhluk sosial?
Semua itu memang ada plus-minus-nya, bahkan mungkin jika aku berharap masa-masa aku ngekost ini berakhir dan ingin cepat-cepat punya rumah sendiri pasti ada plus-minus-nya juga. Mungkin saja aku akan rindu hal-hal yang saat ini sedang aku lakukan.
Aku hanya ingin mengungkapkan itu serta ingin bilang bahwa aku pasti bisa bertahan dan lulus.
Komentar
Posting Komentar